MENCARI SANG ARSITEK

Januari 22, 2008 pukul 5:19 pm | Ditulis dalam Katagori | 3 Komentar

Oleh : M Anis Matta

Sebuah peristiwa mengharu-biru kaum Muslimin di masa kenabian Rasulullah Saw, dimana beliau menyampaikan pidato dalam hajjatul wada’. Haji pertama dan terakhir yang dilaksanakan Rasulullah saw sejak ibadah itu diwajibkan. Karena itu sebagian besar kaum Muslimin menyempatkan diri untuk berhaji tahun itu. Jumlah mereka sekitar 125 ribu orang.

Sementara kaum Muslimin Merasakan kegembiraan mendengar khotbah Rasulullah saw, Abu Bakar justru menangis tersedu-sedu. Ia menangkap dengan jelas isyarat dalam kalimat-kalimat Rasulullah saw, bahwa masa hidupnya tidak akan lama lagi. Dan benar saja, Rasulullah saw kemudian wafat beberapa saat setelah hajjatul wada’ itu. Itu seperti sebuah isyarat bahwa tugas beliau sudah akan selesai sampai disini, tapi cita-cita untuk membawa cahaya Islam kepada seluruh umat manusia belum lagi selesai dan adalah tugas para sahabat untuk melanjutkan risalah dakwah tersebut.

Kini, setelah lima belas abad kemudian, Islam menjadi fenomena sejarah sebagai sebuah peradaban terbesar yang pernah ada dan masih ada hingga saat ini. Islam tersebar di seluruh pelosok dunia dengan jumlah pemeluk sekitar 1,5 milyar manusia, atau sekitar seperlima dari total jumlah manusia yang menghuni bumi ini. Apabila Rasulullah saw meninggalkan lebih dari 125 ribu orang, maka dari merekalah sesungguhnya Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia. Tapi dari jumlah itu, sebenarnya sebagian besar mereka yang masuk ke dalam Islam justru setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun kedelapan hijrah, atau 20 tahun setelah Rasulullah saw menjadi rasul.

Ini berarti bahwa sahabat-sahabat beliau yang mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam dan pembangunan peradaban Islam tidaklah terlalu banyak. Jumlah ulama dari sahabat-sahabat Rasulullah saw dalam catatan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam “I’lamul Muwaqqi’in”, hanya kurang dari 110 orang, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ali Bin Ali Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud. Maka sebagian besar ulama dan pemikir Islam yang lahir kemudian, dari kalangan Tabi’in dan Tabi’uttabi’in dan seterusnya, mengambil ilmu dari mereka.

Otak Arsitek

Peradaban selalu bermula dari gagasan. Peradaban2 besar selalu lahir dari gagasan2 besar. Dan gagasan-gagasan besar selalu lahir dari akal-akal yang besar. Begitulah kejadiannya, jumlah sahabat yang ditinggalkan Rasulullah saw memang sedikit, tapi mereka semua membawa semangat dan kesadaran sebagai pembangun peradaban, dan membawa talenta sebagai arsitek peradaban.

Sejak awal mereka menyadari bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah buku filsafat kehidupan yang kering dan rumit, namun bagi mereka Al-Qur’an adalah sebuah “manual” tentang bagaimana seharusnya kita mengelola kehidupan di bumi ini. Bumi adalah ruang kehidupan tempat kita “menurunkan” kehendak-kehendak Allah swt yang termaktub dalam wahyu menjadi satuan-satuan realitas dalam kehidupan manusia di muka bumi.

Maka doktrin Al-Qur’an tentang Allah, Rasul, manusia dan kehidupan sejak awal menegaskan sebuah kesadaran yang integral; bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat, dan bahwa misi manusia di dunia ini adalah ibadah, tapi ruangnya adalah bumi. Karena itulah mereka mempunyai kesadaran yang kuat tentang ruang; ruang di mana mereka hidup, ruang yang menjadi wilayah kerja akal mereka, ruang yang menjadi tempat mereka menumpahkan seluruh proses kreatif mereka, yaitu bumi.

Kesadaran tentang ruang ini telah menanamkan sikap realisme dalam benak mereka, maka mereka bergerak lincah dalam wilayah itu dengan semangat merealisasikan kehendak-kehendak Allah Swt di muka bumi, dalam semangat memakmurkan dunia dan dalam semangat membangun peradaban. Kesadaran tentang ruang sejak awal membuat peran intelektual dan kerja pemikiran mereka terpola dalam kerangka sebagai arsitek peradaban; bumi ini adalah lanskapnya, dan wahyu adalah kehendak-kehendak Sang Pemilik Kehidupan yang harus diolah menjadi sebuah master plan.

Ijtihad: Mata Air Peradaban

Dalam fungsi arsitektural akal-akal Muslim tumbuh dengan kemampuan berpikir dan berkreasi yang luar biasa pada semua kategori dan tingkatan kemampuan intelektual manusia; kemampuan memahami (daya serap), kemampuan menganalisa (daya analisis), kemampuan mencipta (daya cipta).

Kemampuan itulah yang misalnya terlihat dalam sejarah ekspansi Islam, khususnya pada masa khulafa rasyidin. Dalam bidang politik, masa ekspansi besar-besaran yang terjadi selama 30 tahun masa keempat khulafa rasyidin ini, telah disertai dengan peletakan dasar-dasar ketatanegaraan; bentuk dan sistem pemerintahan yang berorientasi global state tapi bersifat desentralis, sistem pemilihan khalifah, sistem administrasi dan keuangan negara yang berkembang pesat khususnya dalam pengelolaan wilayah-wilayah baru, manajemen konflik, dan lainnya.

Kemampuan akal-akal Muslim juga terlihat dalam perkembangan ijtihad dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Usaha menjaga kemurnian dan keotentikan teks al-Qur’an telah dilakukan melalui pengumpulan dan penulisan mushaf pada masa Abu Bakar, dan standarisasi bacaannya pada masa Utsman bin Affan. Sementara itu, usaha menjaga kemurnian dan keotentikan Sunnah telah melahirkan satu metodologi baru yang tidak ada tandingannya dalam semua peradaban lainnya. Selanjutnya dari kedua sumber itu kemudian lahir berbagai macam ilmu-ilmu keislaman yang memiliki struktur dan content mandiri dan solid, khususnya ilmu fiqh yang menjadi induk pengetahuan keislaman ketika itu.

Demikian juga dalam bidang teknologi. Teknologi maritim, misalnya, telah berkembang pada masa Utsman bin Affan sejalan kebutuhan jihad untuk menghadapi Romawi yang menguasai teknologi itu. Demikian juga industri militer lainnya yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan jihad. Selain teknologi terapan, ilmu-ilmu eksakta dalam bidang fisika dan kedokteran telah berkembang pesat khususnya setelah kaum Muslimin menemukan dan mengembangkan metodologi empiris, yang hingga kini menjadi sebab perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, justru ketika Romawi menggunakan pendekatan teologi dan filsafat untuk ilmu-ilmu eksakta.

Apa yang ingin ditegaskan disini adalah bahwa, kemampuan akal-akal Muslim seharusnya tidak hanya pada daya serapnya yang sangat besar terhadap semua jenis ilmu pengetahuan, tapi juga kemampuannya dalam mengkritisi ilmu-ilmu baru yang sampai ke mereka, dan kemudian kemampuannya dalam merekonstruksinya kembali, dan bahkan kemampuannya dalam mencipta ilmu-ilmu baru atau metodologi baru. Dalam konteks itulah kita melihat bagaimana konsep ijtihad dalam Islam telah mewadahi proses kreativitas akal-akal Muslim, dan karenanya, kemudian menjadi mata air peradaban Islam yang tak pernah kering. Akal-akal Muslim itu, dengan kata lain, mampu memahami zamannya, dan sekaligus memberi sesuatu kepada zamannya.

Dimanakah Sang Arsitek Itu Kini?

Tapi dimanakah akal-akal besar yang pernah menggoncang peradaban dunia dengan temuan-temuannya itu? Di manakah akal-akal Muslim yang dulu sanggup memahami zamannya dan kemudian memberi sesuatu yang baru bagi zamannya?

Akal-akal Muslim sekarang, bukan hanya tampak tidak berdaya memahami zamannya, apalagi memberi sesuatu yang baru bagi zamannya, tapi bahkan tidak sanggup memahami dirinya sendiri, tidak sanggup memahami sumber ajarannya sendiri, tidak sanggup memahami warisan peradabannya sendiri. Akal-akal Muslim sekarang tampak mengalami kelumpuhan. Tapi apakah yang membuatnya lumpuh?

Ketika generasi kemunduran menutup pintu ijtihad, maka mereka telah menutup mata air peradaban. Dan kekeringan inilah yang kini kita warisi dan belum sanggup kita selesaikan, sehingga kita menjadi komunitas global yang hanya hidup di pinggiran sejarah, serta tidak mempunyai campur tangan dalam berbagai peristiwa dunia kecuali hanya sebagai korban.

Tapi apabila Allah Swt telah menetapkan bahwa Ia tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat sampai masyarakat itu sendiri merubah dirinya sendiri, maka sekarang kita mengetahui bahwa perubahan atas diri sendiri itu harus dimulai dari sini; merubah cara berpikir kita, dan merekonstruksinya agar ia mampu mengemban fungsi-fungsi arsitektural kembali, agar ia mampu merubah bumi yang kering menjadi taman-taman kehidupan yang indah.

Apa yang harus kita lakukan untuk itu adalah memperbaiki cara kita memahami sumber-sumber ajaran kita, Qur’an dan Sunnah, serta warisan intelektual dari peradaban kita dengan berusaha mengkaji dengan sungguh-sungguh. Dengan begitu kita dapat menemukan sistem dan metodologi pemikiran kita sendiri, untuk kemudian secara kritis dan independen berinteraksi dengan realitas zaman kita, dengan segala muatan peradabannya, dan selanjutnya menemukan jalan untuk merealisasikan kehendak-kehendak Allah Swt dalam kehidupan kita. Dalam di tengah jalan itulah kita menciptakan semua yang kita perlukan untuk sampai ke titik akhir tujuan kita; dimana bumi yang kering menjelma menjadi taman kehidupan yang indah.

3 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. gue kira arsitek apaan?

    yah untuk kelas internasional mungkin ada Muhammad Yunus, Mahmood Ahmadinejad, Yusuf Islam, Yusuf Qardhawi, cuma sayangnya mereka semua bukan orang Indo 😆

  2. Memang sih saat ini mungkin masih jarang yang sekelas mereka di Indonesia, tapi kita sekarang punya Adian Husaini dalam kajian Politik, Adiwarman Azwar Karim dalam kajian Ekonomi dan beberapa tokoh lain seperti Ahmad Sarwad dari Eramuslim, menurut saya mereka memiliki ide-ide dan pergerakan yang cemerlang dalam membangun peradaban Islam yang baik dan benar.

  3. wah …ternyata banyak juga yang suka artikel ini ya… si bapak ini juga :

    Mencari Sang Arsitek


Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.